Senin, 21 Januari 2019

thumbnail

USROH : Poin 1 "Islam adalah satu-satunya"


Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan dan disyari’atkan Alloh serta satu-satunya agama yang diakui dan diterima-Nya. Alloh tidak akan menerima agama selainnya, dari siapapun, dimanapun dan sampai kapanpun juga. 

اِنَّ الدِّیۡنَ عِنۡدَ اللّٰہِ الۡاِسۡلَامُ ۟ وَ مَا اخۡتَلَفَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَہُمُ الۡعِلۡمُ بَغۡیًۢا بَیۡنَہُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّکۡفُرۡ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ فَاِنَّ اللّٰہَ سَرِیۡعُ الۡحِسَابِ

Innaddiina ‘indallahi-islaamu wamaaakhtalafal-ladziina uutuul kitaaba ilaa min ba’di maa jaa-ahumul ‘ilmu baghyan bainahum waman yakfur biaayaatillahi fa-innallaha sarii’ul hisaab(i);


Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. [QS. Ali ‘Imron (3): 19] 

Tafsir Jalalain oleh Syeikh Jalaluddin al-Mahalli & Syeikh Jalaluddin as-Suyuthi:


(Sesungguhnya agama) yang diridai (di sisi Allah) ialah agama (Islam) yakni syariat yang dibawa oleh para rasul dan dibina atas dasar ketauhidan.

Menurut satu qiraat dibaca anna sebagai badal dari inna yakni badal isytimal.

(Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab) yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam agama, sebagian mereka mengakui bahwa merekalah yang beragama tauhid sedangkan lainnya kafir (kecuali setelah datang kepada mereka ilmu) tentang ketauhidan disebabkan (kedengkian) dari orang-orang kafir (di antara sesama mereka, siapa yang kafir pada ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah cepat sekali perhitungan-Nya) maksudnya pembalasan-Nya.

Tafsir Muyassar oleh tim Mujamma’ Raja Fahd arahan Syaikh al-Allamah Dr. Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh:

Sesungguhnya agama yang Dia ridhai untuk makhluk-Nya dan karena Dia mengutus rasul-rasul-Nya, di mana Dia tidak menerima agama selainnya, ia adalah Islam. Yaitu ketundukan kepada Allah semata dengan ketaatan dan penyerahan diri kepada-Nya dengan penghambaan, mengikuti Rasul-rasul-Nya dalam agama yang dengannya Allah mengutus mereka di setiap zaman sampai mereka ditutup dengan Muhammad.

Allah tidak menerima agama dari siapapun setelah dia di utus selain Islam yang dengannya Allah mengutusnya.

Tidak terjadi perselisihan di kalangan ahli kitab, orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka terpecah belah menjadi beberapa aliran dan kelompok kecuali setelah hujjah Allah telah tegak atas mereka dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab, karena pelanggaran dan hasad demi mencari dunia.

Barangsiapa mengingkari ayat-ayat Allah yang diturunkan dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan rububiyah dan uluhiyah-Nya, maka sesungguhnya Allah Mahacepat hisab-Nya dan Dia akan membalas apa yang mereka kerjakan. 

Tafsir Ibnu Katsir oleh Syeikh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:


Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.
Sebagai berita dari Allah subhanahu wa ta’ala yang menyatakan bahwa tidak ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu mengikuti para rasul yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi Muhammad ﷺ yang membawa agama yang menutup semua jalan lain kecuali hanya jalan yang telah ditem-puhnya.

Karena itu, barang siapa yang menghadap kepada Allah —sesudah Nabi Muhammad ﷺ diutus— dengan membawa agama yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah.

Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya.
(Ali Imran:85), hingga akhir ayat.

Dalam ayat ini Allah memberitakan terbatasnya agama yang diterima oleh Allah hanya pada agama Islam, yaitu:

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Allah menyatakan sesungguhnya tiada Tuhan selain Dia, Yang menegakkan keadilan.

Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).

Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Bahwasanya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.

(Ali Imran:18-19) Dengan innahu yang di-kasrah-kan dan anna yang di-fathah-kan, artinya ‘Allah telah menyatakan —begitu pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu— bahwa agama yang diridai di sisi Allah adalah Islam’.

Sedangkan menurut jumhur ulama, mereka membacanya kasrah’ innad dina ‘sebagai kalimat berita.

Bacaan tersebut kedua-duanya benar, tetapi menurut bacaan jumhur ulama lebih kuat.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya setelah hujah ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para rasul diutus kepada mereka dan kitab-kitab samawi diturunkan buat mereka.

Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Yakni karena sebagian dari mereka merasa dengki terhadap sebagian yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam perkara kebenaran.

Hal tersebut terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci, dan saling menjatuhkan, hingga sebagian dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian yang lain dengan menentangnya dalam semua ucapan dan perbuatannya, sekalipun benar.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah.
Yakni barang siapa yang ingkar kepada apa yang diturunkan oleh Allah di dalam kitab-Nya.

…maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Artinya, sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan menghukurnnya akibat ia menentang Kitab-Nya.

Kamis, 10 Januari 2019

thumbnail

Cara Membuat Akte Kelahiran Bagi Anak yang Lahir di Luar Daerah Asal KTP Orang Tua

Caranya bagaimana? Ikuti langkah berikut:

Langkah pertama:
Minta surat pengantar (keterangan lahir) dari tempat bersalinnya anak. Misal, di bidan desa, Puskesmas atau di RS. (Biasanya masa berlaku surat pengantar ini hanya 14 hari dari hari kelahiran anak)

Langkah kedua:
Mudik dulu. Karena penerbitan akte di kota asal KTP orang tua.
Minta surat pengantar dari ketua RT (rukun tetangga) setempat untuk ke Kantor desa / kelurahan. Redaksi asalan yg kita sebutkan di surat pengantar RT "membuat surat keterangan lahir anak".

Langkah ketiga:
Datang ke kantor desa/kelurahan dengan membawa beberapa berkas;
1. Surat pengantar dari RT.
2. Surat nikah bapak ibu (Asli dan foto copy)
3. Kartu Tanda penduduk (KTP) bapak ibuk (Asli) dan foto copy
4. Kartu keluarga (KK) asli dan foto copy

Di desa/kelurahan ini pemohon surat keterangan lahir (dalam hal ini orang tua atau yang mewakili) harus bisa meyakinkan perangkat desa bahwa anak kita lahir di luar kota/daerah asal KTP. Hal ini dibuktikan dengan surat pengantar dari bidan atau instansi yang membantu persalinan anak kita.

Kalau proses meyakinkan di tingkat desa ini gagal (bahwa anak kita lahir di luar kota) maka nanti redaksi yang ada di akte anak kita anak ditulis lahir di asal KTP bukan tempat anak lahir.

Mohon maaf, biasanya perangkat desa ada yang tidak pengalaman dan tidak memahami redaksi Akte kelahiran. Akhirnya, tetap memaksa menuliskan tempat lahir anak dengan daerah asal KTP ortu bukan tempat lahir anak. Misal, (KTP ortu Rembang, anak lahir di Sleman, maka akan ditulis di lembar surat lahir LAHIR DI REMBANG bukan LAHIR DI SLEMAN.)

Kesalahan perangkat desa juga, mereka memahami bahwa setiap akte yang dicetak di daerah itu harus ditulis lahir di daerah itu jg. Padahal sebenarnya, tempat pembuatan akte berbeda dengan tempat kelahiran anak.

Nah, ini proses penentu redaksi Akte anak kita akan ditulis lahir di tempat dia lahir atau ditulis lahir di-sesuai KTP ortu.

Di kantor desa ini juga, kita meminta surat pengantar "pemberbaharuan KK" untuk nanti dibawa ke kantor kecamatan.

Perangkat desa akan meminta KK asli dan memasukkan nama anak kita yang baru lahir dan membubuhi stample desa di KK tersebut.

Langkah keempat:

(Penerbitan KK baru)

Pergi ke kantor kecamatan dengan membawa berkas:
1. Surat pengantar pembuatan KK baru dari desa
2. KK lama yang sudah dibubuhi tandatangan dan stample desa dan nama anak kita yg baru lahir (tulisan tangan)

Dan sekarang, KK baru sudah diterbitkan dengan nama anak yang baru lahir juga sudah dicantumkan.

Langkat kelima:
Legalisir surat nikah orang tua.

Pergi ke kantor KUA kecamatan atau kantor kemenag kabupaten dengan membawa:
1. 3 lembar foto copy surat nikah (2 untuk arsip kantor dan satu untuk kita)
2. Surat nikah asli.

Langkah keenam:

Penerbitan akte kelahiran

Pergi ke kantor dinas kependudukan dan catatan sipil (DINDUKCAPIL) kabupaten dengan membawa berkas:

1. Blangko (form) pengajuan akte (diisi lengkap) bisa minta di kantor Dindukcapil atau kantor desa.
2. Surat nikah orang tua (legalisir)
3. Foto copy KK baru (yang ada nama anak kita yang baru lahir)
4. Foto copy KTP dua orang saksi. (Yang jd saksinya beleh mbah kung dan mbah utinya) sifatnya formalitas saja.
5. Foto copy KTP orang tua.

Berkas-berkas itu diajukan ke petugas Disdukcapil dan tunggu prosesnya. Kalau tidak ada kendala, sekitar 2 hari selesai.

Akte selesai dibuat dengan redaksi telah lahir di tempat lahir anak (misal, Sleman) dengan nama Aala akte terbit di Rembang.

Dan akhirnya anak kita punya akte kelahiran.

Sumber: https://www.kompasiana.com/ahmadhilmi/57050fbe117b61cf09eeff69/cara-membuat-akte-kelahiran-bagi-anak-yang-lahir-di-luar-daerah-asal-ktp-orang-tua?page=2

Selasa, 18 April 2017

thumbnail

Syarah Hadits Ke-7 Agama Adalah Nasehat

Dari Abu Ruqoyyah Tamiim bin Aus Ad-Daari rodhiyallohu’anhu, sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Agama itu adalah nasihat”. Kami (sahabat) bertanya: ”Untuk siapa?” Beliau bersabda: ”Untuk Alloh, kitab-Nya, rosul-Nya, pemimpin-pemimpin umat islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR.Muslim)

Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting, karena mengandung seluruh agama.Yaitu mengandung hak Allah, hak rasul-Nya, dan hak hamba-Nya. Kewajiban penunaian hak-hak tersebut tekandung pada kata nasehat.

Lingkup Nasehat
Nasehat, pada asalnya berarti bersih dari campuran atau adanya keserasian hubungan.Pada hadits di atas, nasehat untuk umat secara umum dan para imam berarti kehendak baik dari nasih kepada mansuh, sebagaimana pengertian yang sering dipakai untuk mendefiniskan nasehat. Adapun nasehat untuk lainnya, sesuai dengan asal katanya, yaitu adanya keserasian hubungan. Dimana masing-masing memberikan hak pihak lain yang mesti ditunaikan.

1. Nasehat untuk Allah.
Adalah menunaikan hak Allah seperti telah tersebut pada pembahasan iman kepada Allah.

2. Nasehat untuk kitab-Nya.
Adalah menunaikan hak kitab-Nya Al-Qur’an, seperti, yakin bahwa Al-Qur’an kalamullah, mu’jizat terbesar diantara mu’jizat-mu’jizat yang pernah diberikan kepada para rasul, sebagai petunjuk dan cahaya. Selain itu juga membenarkan beritanya dan melaksanakan hukumnya.

3. Nasehat untuk Rasul-Nya.
Adalah menunaikan hak Rasulullah, seperti telah tersebut pada makna syahadat Muhammad rasulullah.

4. Nasehat untuk para imam.
Kata imam jika disebutkan secara mutlak maka berarti penguasa, dan adakalanya kata imam berarti ulama. Nasehat untuk para imam, meliputi imam dengan kedua arti tersebut.
Nasehat untuk penguasa adalah menunaikan haknya, seperti, taat dalam hal yang ma’ruf, tidak taat dalam kemaksiatan, tunduk dan tidak membangkang dan lain-lain yang merupakan hak penguasa yang telah dijelaskan dalam kitab dan sunah.
Nasehat untuk ulama adalah mencintai mereka karena kebaikannya dan jasanya pada umat berkat ilmunya, dan dakwahnya, menjaga kehormatan dan kewibawaannya serta menyebarkan fatwa- fatwanya.

5. Nasehat untuk awam kaum muslimin
adalah memberikan semua yang menjadi hak mereka demi terwujudnya maslahat dunia dan akherat mereka
Semua hak-hak diatas ada yang sifatnya wajib dan ada yang sunnah.
Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id

Penyusun: Ustadz Abu Isa

Minggu, 09 April 2017

thumbnail

Syarah Hadits Ke-6 Kitab Arbain An-Nawawi: Dalil Halal dan Haram Telah Jelas

An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)

Kedudukan Hadits
Tentang kedudukan hadits ini sudah disebutkan pada penjelasan hadits pertama.

Musytabihat
Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya.
Musytabihat dapat terjadi dalam 2 keadaan sebagai berikut:
1. Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah.
2. Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah.
Dalam kedua keadaan tersebut semestinya seseorang tidak melangkah sehingga perkaranya sudah jelas, baik tatkala ulamanya sudah tidak tawakuf lagi atau sudah menanyakan kepada ahlinya.

Menghindari Mustabihat Identik dengan Menjaga Agama dan Kehormatan
Orang mukmin berkewajiban untuk memelihara agama dan kehormatannya. Kewajiban ini bisa terlaksana dengan cara menghindari Mustabihat. Hal itu karena:
1. Dengan menghindari Mustabihat maka secara otomatis dia terhindar dari yang haram dan dengan terhindar dari yang haram terjagalah agamanya.
2. Adakalanya orang yang tidak menghindari Mustabihat akan dianggap orang yang rendah agamanya dan tidak memiliki ketaqwaan, dengan demikian ternodailah kehormatannya. Berbeda jika dia menghindari Mustabihat maka aggapan seperti itu akan jauh darinya, dengan demikian terjagalah kehormatannya.

Menerjang Mustabihat Identik dengan Menjerumuskan Diri ke dalam Keharaman
Orang mukmin dilarang melakukan sesuatu sehingga dia mengetahui hukumnya, maka seseorang yang menerjang Mustabihat dia akan terjerumus ke dalam yang haram ditinjau dari 2 sisi sebagai berikut :
1. Melanggar larangan, karena telah melakukan sesuatu yang belum jelas hukumnya.
2. Bisa jadi yang dia lakukan hukumnya haram sementara dia tidak menyadarinnya karena belum jelas hukumnya.

Sesuatu yang Diperselisihkan Hukumnya Tidak Identik dengan Mustabihat.Banyak masalah yang diperselisihkan status halal dan haramnya oleh para ulama. Tindakan menyelamatkan diri dari perbedaan ulama adalah suatu kemuliaan, namun tidak dalam seluruh masalah. Memilih pendapat yang lebih kuat, sekalipun dinilai haram oleh pihak yang lain, tidaklah termasuk menerjang Mustabihat apalagi menerjang keharaman.

Hati, Otak Dan Akal
Hati adalah tempat bersemayamnya akal dan rumah ruh. Akal adalah alat untuk memahami dan mangetahui baik-buruk dan benar-salah. Sedangkan otak adalah penyampai data kepada akal. Dengan demikian, yang bisa memahami dalil-dalil syariát adalah akal.


Wallohua'lam...

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh -
Penyusun: Ustadz Abu Isa 
thumbnail

Apa Itu Hadits Qudsy?

Mukaddimah
Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.

Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.

Definisi

Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
  • Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.

  • Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.

  • Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم

Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadîts Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.

(SUMBER: Buku Taysîr Musthalah al-Hadîts, karya DR.Mahmûd ath-Thahhân, h.127-128)

Kamis, 06 April 2017

thumbnail

Bagaimana Cara Menghindari Bisikan-bisikan Syaitan ?

PERTANYAAN:
Bagaimana cara kita untuk menghindari bisikan bisikan setan dari telinga hati mau pun fikiran.. Bagaimana cara kita lebih dekat ke allah. Bagaimana cara kita mengkhusyuk kan sholat kita, jika semua itu tiba-tiba muncul.

Sela






JAWABAN:

Alhamdulillah wassolatu wassalam ‘ala Rosulillah amma ba’du:

Bisikan setan pada hati atau fikiran seorang muslim banyak menimpa kaum muslimin karena mereka memang menjadi musuh yang nyata bagi orang yang beriman. Waswasah ini pernah terjadi pada sebagian sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam.
Dari Abu Hurairoh rodiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلُوهُ إِنَّا نَجِدُ فِى أَنْفُسِنَا مَا يَتَعَاظَمُ أَحَدُنَا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ. قَالَ « وَقَدْ وَجَدْتُمُوهُ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « ذَاكَ صَرِيحُ الإِيمَانِ »
Ada beberapa orang sahabat menemui Rosulullah shollallohualaihi wasallam, mereka bertanya, “sesungguhnya kami mendapati ketakutan yang sangat besar di dalam diri kami jika kami mengucapkannya. Beliau bersabda, “apakah kalian mendapatkannya”? mereka menjawab, “ya”. Beliau bersabda, “itu adalah keimanan yang nyata”.

(H.R Muslim)

Makna hadis ini bahwa ketika kekhawatiran dan ketakutan seseorang terjerumus ke dalam kekafiran begitu besar, ini menunjukan bahwa orang tersebut memiliki keimanan yang benar.
Perlu diketahui juga bahwa waswasah atau bisikan dari setan tidak akan mempengaruhi keimanan seseorang, ia berbeda dengan keraguan yang menghilangkan keyakinan dan membahayakan keimanan. Dan setan senantiasa beresemangat untuk menggelincirkan manusia sebagaimana firman Alloh subhanahu wata’ala:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ* ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis berkata: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,  kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).

(al-Arof [7]: 16-17)

Harus diyakini juga bahwa tipu daya setan itu sangat rapuh, jika kita kembali kepada Alloh. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.

(an-Nisa [4]: 76)

Kemudian menjadi akidah kaum muslimin bahwa semua ujian tidak mungkin dilenyapkan kecuali oleh Alloh subhanahu wata’ala baik secara langsung atau dengan sebab-sebab syari. Di antara beberapa sebab syari untuk menghilangkan waswasah adalah:
  1. Berlindung kepada Alloh subhanahu wata’ala dari tipudaya setan. Bahkan Alloh subhanahu wata’ala telah menurunkan surat an-Nas yang didalamnya ada informasi keharusan seseorang berlindung kepada Alloh subhanahu wata’ala terkhusus dari gangguan bisikan setan.
  2. Memperbanyak zikir kepada Alloh subhanahu wata’ala, karena ia adalah sarana untuk melapangkan hati dan ketentramannya. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

(ar-Ro’d [13]: 28)

  1. Mendawamkan zikir pagi dan petang
  2. Memperbanyak membaca al-Quran khususnya surat al-Baqoroh yang bisa mengusir setan
  3. Memperbanyak ibadah dan ketaatan kepada Allah dan berdoa kepada-Nya serta menjauhi kemaksiatan.
Dengan ini semua, insyAlloh bisikan setan akan hilang.
Adapun cara terpenting untuk lebih dekat kepada Alloh subhanahu wata’ala yaitu dengan mengenal nama-nama serta sifat-sifat Alloh dengan metode Ahlussunnah wal jamaah. Serta memperbanyak teman solih yang akan mendorong kita untuk selalu istiqomah beribadah kepada Alloh subhanahu wata’ala. Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِطُ
“Keberagamaan seseorang sesuai dengan agama kawannya, maka hendaknya seseorang di antara kalian melihat dengan siapa dia berkawan”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, dengan sanan jayyid)
Adapun cara mendapatkan solat khusu’ yaitu dengan cara memahani fikih sholat sesuai dengan ajaran Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dan juga mempersiapkan solat beberapa saat sebelum waktunya tiba sehingga tidak tergesa-gesa melaksanakannya dan juga bersungguh-sungguh sekuat tenaga untuk memahami keagungan sholat melalui keindahan bacaan dan gerakan solat. Serta berlindung kepada Alloh ketika ada godaan syaitan.
Wallahualam.
thumbnail

Sejarah Singkat Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.

Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu HanifahAbu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”
Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari majalah Fatawa)

Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh

Rabu, 05 April 2017

thumbnail

Bid'ah yang Baik dan Diperbolehkan

Pertanyaan:
Tolong perjelas lagi kaitan bid’ah, soalnya saya pernah dengar, kalo bid’ah itu ngga semuanya jelek, tapi ada juga bid’ah yang baik. misalnya adanya jam.. dsb..

Pamarican (PM-001)
Jawaban:

Alhamdulillah wassolatu wassalamu ala Rosulillah. Amma ba’du:

Bid’ah adalah satu amal perbuatan atau keyakinan baru yang disandarkan pada Islam. Jadi seolah-olah itu adalah ajaran yang telah diajarkan oleh Rosululloh sholallohu’alaihi wasallam padahal Rosul tidak pernah melakukannya.
Semua bid’ah dalam masalah agama adalah buruk. Sebab seolah-olah pelakunya adalah penentu aturan syariat dan seolah-olah dia seperti Alloh subhanahu wata’ala yang berhak membuat syariat.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”  (Qs. as-Syuro: 21)
Rosulullah sholallohu’alaihi wasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bidah adalah sesat.” (HR. Ahmad)
Maksud dari perkara baru di sini adalah perkara baru dalam agama, bukan keduniaan. Sebab untuk masalah keduniaan kita dibebaskan melakukan apapun selama tidak ada larangan dalam Islam.
Wallahu’alam…

Selasa, 04 April 2017

thumbnail

Tafsir Surat Al-Fatihah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
🔸“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”


🔹Para ulama’ menjelaskan bahwa basmalah (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) yang diturunkan pada awal setiap surat adalah untuk menunjukkan kepada para hamba bahwa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat tersebut adalah kebenaran, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin akan memberikan segala janji dan kebaikan yang akan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampaikan di dalam surat tersebut. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113.)
🔹Basmalah termasuk ayat dari Al-Qur’an, namun basmalah bukan termasuk bagian dari surat Al-Fatihah. (Tafsirul Qur’anil Karim: Juz ‘Amma, 10.)
🔹Basmalah diturunkan sebagai pemisah antar surat-surat. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui pemisah (di antara) surat, hingga turun (kepada beliau), “Bismillahir Rahmanir Rahim.” (HR. Abu Dawud : 788)


🔹Diantara dalil yang menegaskan bahwa basmalah bukan termasuk bagian dari surat Al-Fatihah adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda;
Allah  berfirman, “Aku membagi Ash-Shalah (Al-Fatihah) menjadi dua bagian, untuk-Ku dan untuk hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang dimintanya. Jika seorang hamba mengucapkan, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” (maka) Allah  berfirman, “Hamba-ku telah memuji-Ku.” Jika seorang hamba mengucapkan, “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (maka) Allah  berfirman, “Hamba-ku telah menyanjung-Ku.” Jika seorang hamba mengucapkan, “Yang menguasai di Hari Pembalasan.” (maka) Allah berfirman, “Hamba-ku telah memuliakan-Ku dan terkadang Allah  berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan segala urusannya kepada-Ku.” Jika seorang hamba mengucapkan, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (maka) Allah  berfirman, “Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.” Jika seorang hamba mengucapkan, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan(nya) orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalannya) orang-orang yang dimurkai dan bukan (jalannya) orang-orang yang sesat.” (maka) Allah  berfirman, “Ini adalah bagi hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya.”
(HR. Muslim Juz 1 : 395.)
🔹Tiga ayat pertama untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiga ayat terakhir untuk hamba. Adapun ayat, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan,” menjadi ayat yang dibagi dua; untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk hamba. Jika basmalah masuk dalam bagian Surat Al-Fatihah, maka permbagiannya menjadi tidak sepadan.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
🔸“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.”

🔹Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin,” merupakan awal dari surat Al-Fatihah dan akhir dari doa para hamba pada Hari Kiamat kelak.  (Syarhul Ma’ani, 1/91.)
🔹Makna ayat, “Segala puji bagi Allah, Robb semesta alam” adalah menunjukkan rasa syukur yang dipanjatkan kepada Allah  atas segala karunia yang tidak terhitung jumlahnya, dengan disiapkannya segala sarana dan prasarana secara baik oleh Allah , agar para hamba dapat melakukan ketaatan kepada-Nya. Bahkan Allah  juga telah membuka pintu rizki secara luas di dunia, Allah  juga telah memberikan peringatan dan seruan yang akan menggiring hamba-Nya menuju ke dalam Surga. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 1/21.)
🔹Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin;
 “(Al-Hamdu artinya adalah) pujian (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) atas segala kebaikan yang dilakukan oleh-Nya, dengan disertai pengagungan dan pemuliaan. (Syarhu Nukhbatul Fikar, 2.)

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
🔸“Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

🔹Kata Ar-Rohman dan Ar-Rohim termasuk Asma’ul Husna yang diambil dari kata Rahmat yang artinya kasih sayang. Ar-Rohman maknanya Allah memiliki kasih sayang kepada seluruh makhluk-Nya ketika di dunia. Sedangkan Ar-Rohim maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang kepada orang-orang yang beriman ketika di akhirat.
🔹Berkata Syaikh Amin Asy-Syinqithi Rohimahulloh:
“Kata Ar-Rohman lebih luas daripada kata Ar-Rohim. Karena Ar-Rohman artinya adalah yang memiliki kasih sayang yang mencakup seluruh makhluk di dunia dan bagi orang-orang yang beriman di Akhirat. Adapun ArRahim artinya adalah yang memiliki kasih sayang kepada orang yang beriman pada Hari Kiamat.” (Adhwaul Bayan, 1/40.)
🔹Rahmat Allah pada Hari Kiamat sangat luas yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RodhiyAllahu'anhu, dari Nabi ShollAllahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda;
"Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat. Dia menurunkan satu rahmat-Nya kepada jin, manusia, binatang ternak, dan binatang buas. Dengan satu rahmat tersebut mereka saling mencintai, dengan satu rahmat tersebut mereka saling berkasih sayang, dan dengan satu rahmat tersebut binatang buas mengasihi anaknya. Allah mengakhirkan sembilan puluh sembilan rahmat (yang lainnya) untuk merahmati para hamba-Nya (yang beriman) pada Hari Kiamat." (HR. Muslim Juz 4 : 2752.)

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
🔸 “Yang menguasai Yaumud din.”

🔹Maknanya adalah; yang menguasai Hari Perhitungan dan Hari Pembalasan, yang seorang tidak mampu menolong orang lain sedikit pun dan semua urusan dalam kekuasaan Allah . Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh firman Allah dalam Qur'an Surat Al-Infithor ayat 17–19:
"Tahukah engkau apakah Yaumud din itu? Kemudian tahukah engkau apakah Yaumud din itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak mampu menolong orang lain sedikit pun. Dan semua urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah."
🔹Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir Rohimahulloh:
“Hari Pembalasan adalah hari perhitungan bagi para makhluk. Hari itu merupakan Hari Kiamat yang para makhluk akan dibalasan (sesuai) dengan amalan mereka. Jika amalannya (ketika di dunia) baik, maka baik pula (balasan yang akan diterimanya). (Namun) jika amalannya (ketika di dunia) buruk, maka buruk pula (balasan yang akan diterimanya). Kecuali bagi siapa saja yang dimaafkan (oleh Allah ). (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 1/24.)
🔹Para ulama’ menyebutkan bahwa tiga ayat pertama Surat Al-Fatihah mengandung tiga rukun ibadah, yaitu; mahabbah (cinta), roja’ (harapan), dan khouf (takut). Mahabbah terdapat pada ayat, “Segala puji bagi Allah Robb semesta alam.” Roja’ terdapat pada ayat, “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” dan khauf terdapat pada ayat, “Yang menguasai di Hari Pembalasan. (Syarhul Ubudiyah, 139.)

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
🔸 “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
🔹 Makna kalimat, “Hanya kepada-Mu kami beribadah,” adalah hanya kepada-Mu kami bertauhid, hanya kepada-Mu kami takut, hanya kepada-Mu kami berharap, dan tidak kepada selain-Mu. (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 1/215).
🔹 Makna kalimat, “hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan,” adalah bahwa ibadah akan menjadi sempurna jika dengan pertolongan, taufiq, dan izin dari Allah. (Ruhul Ma’ani, 1/121).
🔹 Definisi ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 'Rohimahulloh' adalah “Ungkapan yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin.” (Al-'Ubudiyah, 19.)


اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
🔸“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.”

🔹 Maknanya adalah; berikanlah bimbingan kepada kami jalan yang lurus. (Zadul Masir, 1/14.)
🔹Ash-Shirath Al-Mustaqim (jalan yang lurus) pada ayat ini maksudnya adalah Islam. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari An-Nawwas bin Sam’an, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda;
Allah memberikan perumpamaan jalan yang lurus yang kiri dan kanannya ada dua pagar, pada pagar tersebut terdapat pintu-pintu yang terbuka. Di atas pintu terdapat tirai yang terulur. Lalu ada penyeru yang memanggil di gerbang jalan yang berkata, “Wahai sekalian manusia, masuklah ke dalam jalan yang lurus dan janganlah kalian meninggalkannya. Dan penyeru yang lain yang berada di atas jalan. Jika seorang ingin membuka tirai dari pintu-pintu tersebut, maka ia berkata, “Wahai engkau, janganlah engkau membukanya. Karena jika engkau membukanya, niscaya engkau akan masuk ke dalamnya. Jalan yang lurus tersebut adalah Islam, dua pagar tersebut tersebut adalah hukum-hukum Allah, pintu-pintu yang terbuka tersebut adalah larangan Allah, penyeru yang yang berada di gerbang jalan tersebut adalah Kitabullah, sedangkan penyeru yang berada di atas jalan adalah peringatan Allah yang ada di dalam hati setiap muslim." (HR. Ahmad, Tirmidzi Juz 5 : 2859, Hakim Juz 1 : 245.)
🔹Seorang yang telah memeluk agama Islam masih tetap membutuhkan petunjuk. Karena petunjuk (hidayah) terbagi menjadi dua, yaitu; hidayah kepada Islam dan hidayah di dalam Islam. Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di:
“Tunjukkanlah kami kepada Shiroth dan tunjukkanlah kami di dalam Shiroth. Hidayah kepada Shiroth adalah memilih agama Islam dan meninggalkan agama-agama selainnya. Sedangkan hidayah di dalam Shiroth mencakup semua perkara agama, baik secara keilmuan maupun secara amalan.”  (Taisirul Karimir Rahman, 39.)
🔹 Shiroth yang dimaksudkan pada ayat ini berbeda dengan Shiroth yang ada pada Hari Kiamat. Sifat Shiroth pada Hari Kiamat disebutkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri:
Telah sampai kepadaku bahwa shirath tersebut lebih kecil dari rambut dan lebih tajam dari pedang.(HR. Muslim Juz 1 : 183.)
🔹 Namun shiroth yang disebutkan pada Surat AlFatihah ini berkaitan dengan shiroth pada Hari Kiamat. Karena iman dan amal shalih di dunia adalah Ash-Shiroth Al-Mustaqim (jalan yang lurus). Allah memerintahkan setiap hamba untuk menapaki dan beristiqamah di atasnya. Dia juga memerintahkan kaum muslimin agar memohon hidayah (petunjuk) untuk dapat menapaki AshShiroth Al-Mustaqim tersebut. Barangsiapa yang di dunia selalu istiqamah dalam menapaki Ash-Shiroth AlMustaqim secara lahir dan batin, maka ia akan istiqamah (teguh) pula ketika berjalan di atas shirath yang dibentangkan di atas Neraka Jahannam. (At-Takhwir minan Nar, 244.)

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
🔸  “Bukan (jalannya) orang-orang yang dimurkai dan bukan (jalannya) orang-orang yang sesat.

🔹 Maknanya adalah; bukan jalannya orang-orang yahudi dan bukan jalannya orang-orang nashrani.
🔹 Para mufassirin (ulama’ ahli tafsir) telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan, “orang-orang yang dimurkai,” adalah orang-orang yahudi dan yang dimaksud dengan, “orang-orang yang sesat,” adalah nashrani. (Al-Ijma’ fit Tafsir, 141.)
🔹 Dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim, dari Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda; “yahudi adalah orang-orang yang dimurkai, sedangkan nashrani adalah orang-orang yang sesat. (HR. Tirmidzi Juz 5 : 2954.)
🔹 Orang yahudi telah kehilangan amal, sedangkan orang nashrani telah kehilangan ilmu. Oleh karena itulah kemurkaan diberikan kepada orang-orang yahudi dan kesesatan disandangkan kepada orang-orang nashrani. Sehingga barangsiapa yang berilmu tetapi tidak beramal, maka ia menyerupai orang-orang yahudi. Dan barangsiapa yang beramal tetapi tidak berilmu, maka ia menyerupai orang-orang nashrani.
🔹 Berkata Sufyan bin Uyyainah Rohimahulloh; “Barangsiapa yang kalangan ulama’(nya) rusak, maka ia menyerupai orang-orang yahudi. Dan barangsiapa yang kalangan ahli ibadah(nya) yang rusak, maka ia menyerupai orang-orang nasrani. (Al-Fatawa Al-Kubra, 2/142.)

About

Silahkan disebarluaskan untuk meraih pahala dakwah. Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Instagram posts

Tentang Blog ini

Entri Populer